- Keempat, Mobilisasi Ormas untuk Tekanan Politik Keuskupan dan Aparat
Mereka tidak hanya menyerang Romo Patris, tapi secara tersirat juga menyudutkan Keuskupan dan pejabat publik karena dianggap diam. Ini adalah strategi klasik: Jika Keuskupan tidak menindak, maka Keuskupan diam-diam setuju!
Dengan ini, mereka berusaha mendikte narasi internal Gereja Katolik dari luar. Ironi? Sekelompok eksternal memaksa internal Gereja untuk mengoreksi iman mereka sendiri demi kerukunan versi publik.
- Kelima, Menggiring Opini Bahwa Kritik sama dengan Kebencian
Apa yang dilakukan Romo Patris?
Ia menyebut bahwa ada ajaran Protestan yang bertentangan dengan ajaran Kristus — sesuatu yang diyakini secara historis oleh Gereja Katolik.
Lalu Apa yang dilakukan ORMAS? Mereka menggiring opini bahwa kritik teologis sama dengan ujaran kebencian sam dengan potensi konflik saMA DENGAN ancaman terhadap stabilitas. Padahal, siapa yang sebenarnya membuat gaduh?
- Kesimpulan:
Yang dilakukan ORMAS tersebut bukan semata menjaga kerukunan, tetapi:
- Membungkam diskursus teologis dengan tekanan hukum,
- Memonopoli makna toleransi demi kenyamanan emosional kelompok tertentu,
- Mempermalukan pihak Gereja agar tunduk pada tafsir keagamaan publik versi mayoritas.
- Mereka tidak sedang menjaga toleransi. Mereka sedang membentuk sensor. Dan, seperti biasa, semua dibungkus dalam retorika damai dan kasih — sambil menodongkan laporan polisi.
- Catatan Patris Allegro
Kalau Martin Luther hidup di zaman ini dan berteriak “Gereja Katolik sesat!”, ia akan diberi panggung. Tapi kalau imam Katolik berkata, “Gereja Protestan itu bukan Gereja yang Kristus dirikan,” maka ia akan dipanggil Polda. (****)