Syarat lainnya adalah semua anggota keluarga harus hadir dalam mediasi.
Kesepakatan itu dimeteraikan dengan satu botol tuak atau moke dan uang Rp50 ribu.
Ofan bercerita, Viktor pun menemui Yoswaldus Habur pada 20 Juli, menyampaikan bahwa mediasi akan digelar pada malamnya.
Ia juga berkata, “kami hanya mampu menyiapkan Rp7 juta.” Merespons pernyataan itu, Yoswaldus berkata, “kalau begitu, perkara tetap dilanjutkan.”
Mendapat jawaban itu, kata Ofan, malamnya pihaknya bersama anak rona mendatangi rumah lokasi untuk mediasi dengan membawa Rp10 juta.
Ternyata, “rumah itu tertutup dan gelap,” kata Ofan.
Beberapa saat kemudian, kata dia, Stefanus Garus, kakak dari Silvester menemui mereka dan memberitahukan bahwa “kami harus menyiapkan uang Rp50 juta.”
Kendati sempat marah, menurut Ofan, anak rona menawarkan kepada Stefanus agar keluarga korban menemui mereka di rumah Kristianus Larung pada 21 Juli pagi.
Namun, hingga pukul 10.00 Wita, hanya Stefanus yang datang dan menyampaikan hal yang sama yaitu bahwa “kami harus menyiapkan uang Rp50 juta.”
“Saya anggap ini skenario pemerasan karena awalnya sudah disepakati bahwa kami hanya menyiapkan uang sebesar Rp10 juta,” katanya.
Ofan berkata, ia tetap mendorong agar kasus ini diselesaikan dengan mediasi karena “ini sebenarnya masalah keluarga.”
Ia juga berencana untuk menyampaikan upaya mediasi itu ke Polsek Satar Mese pada 4 Agustus.
Sebelumnya, Deden Sangu atau DS memberi kesaksian berbeda soal mediasi pada pada 20 Juli itu.
Ia berkata, terlapor — Ofan dan Kristianus Larung — memang membawa uang Rp10 juta untuk wunis peheng, namun keduanya tak mengaku bersalah dan meminta maaf.
Padahal, katanya, pemberian wunis peheng harus didahului dengan tegi lecang agu kope — pengakuan bersalah dan permintaan maaf.